Tampilkan postingan dengan label United States. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label United States. Tampilkan semua postingan

Radio Tanpa Batas di Ponsel Linux

RDS vs DirectBand FM-spectrum

Beberapa seri gadget Linux memiliki fasilitas radio FM di dalamnya. Namun hal yang perlu disayangkan, setting standar ponsel masih kurang optimal. Kamu hanya boleh menyimpan 10 stasiun radio. Padahal di Jakarta saja, ada 40 stasiun radio berfrekuensi FM. Maka tidak semua stasiun radio itu bisa tertampung ke dalam memori ponsel.
Sesungguhnya ia bisa menampung stasiu radio jauh lebih banyak dari standarnya. kamu bisa meng-upgrade daya tampung radio sampai 10 x dengan mengutak-atik file konfigurasinya. Kamu juga dapat mengutak-atik setting lain agar lebih optimal. Berikut langkah-langkahnya.
Pertama-tama, unduh, instal dan jalankan aplikasi XP Tolls Manager dari http://rapidshare.com. Setelah itu, dari aplikasi tersebut masuklah ke direktori /ezxlocal/download/appwrite/setup. Pada direktori setup, carilah file ezx_fmradio.cfg dan pilih menu Open Text untuk mengeditnya. Pada layar akan muncul konten berikut:
[SETTING]
ForceMono = 0
Volume = 3
CurrentFreq = 87600
TuneMode = 0
ByLoudSpeaker = 0
CurrentChannelIndex = 5

[FLEX]
SearchStopLevel = 1
SNC = 1
BadLimitHigh = 108000
BadLimitLow = 87500
Softmute = 1
DefaultInjection = 0
TotalStations = 10
MinFreqSeperation = 100
HCC = 1

Untuk memecah masalah diatas, carilah baris TotalStations = 10 pada grup FLEX. Gantilah nilai ini dengan nilai lain di atas 10, misalnya 100. Dengan mengganti angka pada setting TotalStations ini, daya tampung stasiun radio di ponsel akan berubah mengikuti setting yang kamu terapkan. Dalam contoh di atas daya tampung stasiun radio akan meningkat menjadi 100 buah.
Setting lain yang dapat kamu utak-atik pada grup FLEX adalah baris SearchStopLevel. Setting ini mengatur tingkat kepekaan ponsel terhadap sinyal radio saat dilakukan pencarian sinyal radio secara otomatis. Semakin tinggi level, semakin sedikit stasiun radio yang tertangkap ponsel. Namun, kualitas sinyal radio yang ditangkap akan lebih terseleksi. Artinya, kamu hanya akan menemukan stasiun-stasiun radio yang kualitas sinyalnya bagus.
Baris berikutnya, setting BadLimitHigh dan BadLimitLow berkaitan dengan batasan frekuensi radio yang boleh ditangkap ponsel. BadLimitHigh merupakan batas atas frekuensi yang diperbolehkan dan BadLimitLow merupakan batasan bawah frekuensi radio. Setting ini menggunakan satuan kilo hertz (KHz). Dengan mengisi setting BadLimitHigh = 108000 dan BadLimitLow = 87500, artinya range frekuensi radio yang diperbolehkan untuk digunakan ponsel berada diantara 87,5 MHz dan 108 MHz.
Setting MinFreqSeperation mengatur tingkat akurasi dalam pencarian kanal. Sama seperti BadLimitHigh dan BadLimitLow, setting MinFreqSeperation menggunakan satuan KHz. Itu artinya MinFreqSeperation = 100, akan membawa ponsel kamu ke tingkat akurasi 0,1 MHz dalam pencarian kanal.
Selain grup FLEX terdapat grup SETTINGS yang mengelola pengaturan ponsel. Baris pertama dari pengaturan SETTINGS adalah ForceMono. Setting ini berfungsi untuk memaksa ponsel menggunakan suara mono. Jika tidak terpaksa, sebaiknya kamu mematikan fungsi ini karena akan menyebabkan kamu tidak bisa menikmati kualitas suara stereo.
Baris berikutnya, Volume merupakan setting untuk mengatur volume radio. Semakin besar angka yang kamu masukkan, semakin besar pula suara yang dihasilkan. Setting pasangannya ByLoudSpeaker merupakan setting untuk mengatur ke arah mana suara radio akan diperdengarkan. Jika kamu mengisi setting ByLoudSpeaker dengan angka 0, suara radio akan diperdengarkan melalui headphone. Sementara jika kamu mengatur ByLoudSpeaker dengan 1, kamu bisa mendengarkan suara radio melalui LoudSpeaker ponsel.
Untuk menentukan pada kanal mana kamu dapat mendengarkan radio, kamu dapat mengutak-atik baris CurrentFreq. Lagi-lagi setting ini menggunakan satuan kilohertz. Ini artinya CurrentFreq = 87600 pada contoh diatas mengarah pada kanal 87,6 MHz. Baris terakhir CurrentChannelIndex, mengacu pada urutan kanal yang kamu simpan.
Dan jangan lupa usai mengutak-atik setting diatas jangan lupa menyimpan file tersebut.

Regina Ida
reginaida@yahoo.com





Enhanced by Zemanta
Read More...

Iwan Fals: Tetap Gelisah



Setiap kita melihat, membaca, atau berbicang langsung, satu hal yang tak pernah lepas dari Iwan Fals adalah kelugasannya. Apa yang diucapkannya, itulah yang menjadi keyakinannya, dan itu pula yang dilakukannya. Wujud nyata dari hal yang bernama intergritas: satunya antara kata dengan perbuatan. Satu hal yang mungkin masih langka di negeri tercinta ini.

Bicara kelugasan, ini pula yang bisa kita baca dari wawancara terbaru Iwan Fals dengan Kompas di bawah ini. Selamat membaca.
 Iwan Fals (49) tetap menyanyikan kegelisahan rakyat. Kini ia gelisah dengan masalah lingkungan hidup yang semakin parah. Dia juga berdoa dalam lagu. Itulah yang ia sodorkan pada album terbarunya ”Keseimbangan”.

Kami mengobrol dengan lelaki bernama Virgiawan Listanto itu di salah satu sudut halaman rumahnya di Desa Leuwinanggung, Cimanggis, Depok, yang teduh dan hijau oleh rindang pepohonan dan rerumputan. Sore itu Iwan habis latihan bersama rekan-rekan musisi, seperti Toto Tewel (gitaris), Edi Daromi (keryboards), Deni Kurniawan (drum), dan Heirie Buchaery (bas).

Ia bercerita tentang PT Tiga Rambu, perusahaan yang dikelola oleh keluarga Iwan, termasuk istrinya, Rosana Listanto, yang akrab disapa dengan panggilan Yos, serta anaknya, Anissa Cikal Rambu Basae.

Nama Tiga Rambu diambil dari nama tiga anak Iwan, yaitu Galang Rambu Anarki (1982-1997), Anissa Cikal Rambu Basae (25), dan Rayya Rambu Robbani (7). Tiga Rambu tengah menyiapkan Iwan dan kelompoknya

untuk perjalanan keliling ke sejumlah pelosok. Ia menyiapkan sebuah mobil yang khusus dirancang untuk perjalanan kelompok musik yang mengembara dari satu kota ke kota lain, termasuk ke komunitas pesantren dan nelayan.

Inilah babakan baru kehidupan Iwan sebagai seniman. Ia bisa dengan lebih akrab mendekati pendengarnya dan menyuarakan keresahan orang-orang di sekitarnya lewat lagu langsung ke telinga rakyat.

Lingkungan

Masalah lingkungan memang bukan tema baru dalam lagu-lagu Iwan. Awal tahun 1980-an dia sudah menyanyikan ”Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi” sampai ”Tak Biru Lagi Lautku”. Dalam Keseimbangan ada empat lagu, seperti ”Hutanku”, ”Pohon untuk Kehidupan”, ”Tanam Siram Tanam”, dan ”Ayolah Mulai”.

Ini kegelisahan Anda?

Ini bermula dari kekhawatiran aku tentang alam. Orang bilang sekarang terjadi global warming, pemanasan global. Kutub utara sudah mencair, malah ada yang bilang bumi sudah tidak bundar lagi sehingga putarannya enggak bener dan cuaca tak bisa diduga. Bumi diambilin emas, tambang, dan hutannya. Populasi penduduk bertambah, perang. Waduh….

Tetapi, kan tidak terus mentok, terus khawatir. Tapi harus ada jalan keluar. Kita enggak bisa terus mengeluh. Aku percaya itu akan didengar petani, nelayan terpanggil untuk kerja. Siapa tahu dengan lagu itu ada harapan, kesadaran. Mati, itu sudah pasti, maka kita ngomong kehidupan saja.

Mengapa makin fokus ke lingkungan?

Umur juga, ya, ha-ha-ha... Dulu nyanyi tentang lingkungan buat gagah-gagahan saja. Aku (dulu) nyanyi tentang hutan dan erosi. Sekarang ini tak ada pilihan lain. Ini jawaban buat krisis lingkungan hidup.

Dan faktanya kita sudah terancam dari-mana-mana, dari atas dari bawah. Enggak ada jalan, kecuali kerja untuk kehidupan. Caranya masing-masing. Tak ada istilah terlambat.

Anda mengajak fans untuk menanam?

Kita ajak mereka nanem. Dulu ada gerakan Indonesia Menanam di Kemayoran dan aku terlibat juga. Kemarin ini, ini kita nanem di Jonggol. Kami juga menanam mangrove di Pekalongan, Cianjur, dan lainnya.

Jonggol itu tanah pribadi aku. Ada sekitar 20 hektar yang dulunya lahan kering. Pohon-pohon ditebangin karena dulu katanya mau dibuat perumahan.

Aku lihat tanah telantar aku beli. Ya sudah rezeki. Kita mau hutanin, Kami tanam 5.000 pohon. Sebelumnya kawan-kawan Oi (ormas yang mayoritas anggotanya penggemar Iwan) menanam 1.000 pohon.

Sebelumnya ada teman-teman dari Go Blue mengajak kami balik ke laut. Katanya, laut itu lumbung terakhir. Terumbu karang sudah tinggal 6,2 persen yang sehat. Sementara 60 persen orang kita tinggal di pesisir. Lha, itu kan rumah ikan. Kalau ikan enggak ada, lalu gimana?”

Seratus persen

Iwan sadar benar akan posisinya sebagai penyanyi, penulis lagu. Di satu sisi, ia tetap memegang idealismenya. Di sisi lain, ia paham kondisi industri musik Tanah Air. Saat berangkat masuk industri, ia bekompromi bahwa 70 persen untuk idealisme dan 30 persen untuk melayani kepentingan industri. Kini dengan Tiga Rambu, Iwan memang 100 persen idealisme itu. Kini Tiga Rambu-lah yang meladeni Iwan 100 persen.

”Album ini diurus anak dan istri. Yos sama Cikal. Yos jadi direktur. Sebenarnya aku komisaris he-he-he, tapi minta mundur. Aku konsen nyanyi sajalah. Ternyata mereka sudah dua tahun kerja. Aku kaget juga. Walau terengah-engah, dia semua yang ngurus. Aku ya cuma gini-gini saja. Konserku dalam

setahun dibuatin sama dia. Pakai tema pula. Kemarin tentang ASI, green peace, almarhum Munir, guru. Akhirnya aku jadi manja juga ha-ha-ha.... Kalau main, konser gitu-gitu saja males juga. Harus ada yang disampaikan. Dapet duitnya sih enak, tapi kalau cuma tepuk tangan untuk apa, males juga.”

”Sikap ini sebenarnya sudah sejak dari dulu ketika aku berangkat main musik. Niat aku sudah begitu. Kita bisa berbuat sesuatu kok lewat musik. Buktinya ada lagu ”Maju Tak Gentar”, jadi berdaya benar musik itu. Kita bisa omong tentang pohon, politik, Tuhan. Tempatku bukan di klangenan.”

”Cuma karena aku masuk industri, aku ikut arus dan menyanyi (yang 30 persen) itu. Tapi jalurku sebenarnya tetap di situ (berbuat sesuatu lewat musik). Apalah anak umur 19 tahun waktu itu. Tapi, aku cukup gelisah dan aku tak menyerah. Aku bilang sama perusahaan rekaman, ’Oke 30 persen aku ladeni kamu dan 70 persen buat aku.’ Apakah jadinya 50 persen atau berapa aku enggak tahu ha-ha-ha.... Tapi, dalam perjalanan akhirnya sekarang aku 100 persen. Itu setelah aku dipegang sama istriku.”

Gamang

Dalam perjalanan hidupnya, Iwan pernah sangat terpukul, yaitu ketika ia kehilangan seorang anaknya. Ia memerlukan waktu 10 tahun untuk menerima kenyataan hidup. Ia menyebut masa-masa itu sebagai krisis. Salah satu penguat jiwanya pada masa krisis itu adalah syair yang ia dapat dari Perguruan Silat Bangau Putih. Syair itu dibuatnya menjadi lagu berjudul ”Suhu” yang dinyanyikan di album Keseimbangan.

”Suhu”:

Kekuatan ada batasnya, keluwesan tak ada batasnya

Tak ada Kuda-kuda yang tak bisa dijatuhkan

Karena itu geseran lebih utama

Keunggulan geseran terletak pada keseimbangam

Rahasia keseimbangan adalah kewajaran

Wajar itu kosong

Membentur dapat diukur, menempel sukar dikira

Mundur satu langkah maju delapan langkah

Kosong dan isi bergantian menurut keadaan

Bagaimana lagu itu muncul?

Ada teman dari Perguruan Silat Bangau Putih yang mengingatkan aku. Waktu itu aku punya krisis dan syair itu menolong aku. Aku gathuk-gathukin—dihubungkan. Dengan semesta, apa bedanya kita dengan semesta. Manusia kan cuma miniatur alam. Waktu aku mendengar syair itu, aku terbantu, siapa tahun alam juga terbantu dengan syair tentang keseimbangan

Jadi, enggak bisa kita dengan kekerasan. Siapa tahu itu jadi inspirasi bagi penggerak lingkungan, pencinta kemanusiaan, atau orang yang ingin hidup lebih baik.

Dalam menghadapi persoalan aku tak bisa main hantam. Harus memunguti hikmah-hikmah. Ini yang dimaksud geseran. Kita enggak bisa hadapi itu dengan main hantam. Bisa mati kita. Ternyata aku perlu waktu 10 tahun menghadapi itu dan baru selesai sekarang. Itu masalah kehilangan. Padahal, semua orang sebenarnya tahu akan kehilangan. Untuk ikhlas itu susah. Sebelumnya untuk mengatasi rasa kangen itu aku sampai nangis-nangis. Tapi, ternyata masih banyak persoalan hidup yang lain.

Politik dan amarah

Lagu-lagu yang dinyanyikan Iwan dulu bagai penyambung suara kegelisahan rakyat. Nakal, galak, dan komikal. Ada pula rasa amarah. Tersebutlah ”Guru Oemar Bakri”, ”Wakil Rakyat”, ”Ambulan Zig-Zag”, ”Bongkar”, dan ”Bento”.

Situasi sekarang tak cukup menggelisahkan Anda?

Sebenarnya aku agak bingung juga. Banyak masalah di negeri ini. Ada kasus Century, hakim sogokan. Tapi, begitu ada tsunami, aku jadi imun. Bukan dalam arti negatif ya. Tapi, ujungnya kok cuma itu: Bencana. Berapa ratus ribu orang meninggal. Terus kerusuhan. Ah....

Tsunami?

Jadi, sepertinya akhirnya ini harus alam yang menyelesaikan. Alam juga punya aturan, bukan hanya manusia. Kalau pinjam istilah Mas Willy (sebutan untuk almarhum Rendra) kan ada alam besar dan alam kecil. Itu tak boleh dilanggar. Enggak makan kita lapar, nebang pohon pasti banjir. Kita harus taat hukum alam itu. Tsunami itu jawaban tentang kehancuran yang kita buat. Tsunami itu puncak dari daya mati. Kita harus mengurus kehidupan.

Sudah lelah dengan politik dan tidak marah lagi?

Siapa sih yang enggak marah kalau dengar cerita tentang manusia di koran, di TV. Marah dengan sinis, karikatural, bercanda bisa. Tapi, marah seperti orang demo enggak bisa. Marah itu merusak jeroan. Dulu aku tak tahu itu.

Nakal dan bijak

Kenakalan Iwan sudah hilang?

Lho, aku makin nakal kan makin enggak keliatan ha-ha-ha..., aku tidak menganggap remeh hidup. Hidup kan cuma mampir ngombe-minum. Kalau nakal kurang ajar, sudah enggak. Mungkin dulu zaman muda, aku penuh prasangka. Sekarang banyak pelajaran tentang prasangka-prasangka. Lihat kenyataannya saja. Nyatanya kru aku susah bayar listrik. Dulu tak perlu kenyataan seperti dan aku berani nuduh-nuduh. Mungkin itu maksudnya nakal.

Bagaimana mungkin emosiku sama seperti ketika aku nyanyi ”Oemar Bakri”. Bedalah, wong dulu aku bikin lagu itu umur 17 tahun dan sekarang umur aku hampir 50. Mungkin, aku lebih gendeng lagi. Dulu aku menafsirkan sesuatu dengan sinis. Mungkin, sekarang aku enggak sinis.

Makin bijak?

Mungkin aku sudah ngalamin bijak sampai uban keluar semua ha-ha-ha. Sok bijak dan jaim. Aku lewati tahapan itu dan mungkin bosen juga. Ah, aku ngglundung saja. Hidup mengalir saja.

Lagu ”Menanti Kekasih” itu dua kali direkam dengan gaya yang berbeda. Apakah ada penafsiran baru?

Ah, waktu itu aku sebel dikasih lagu pacar-pacaran seperti itu. Tapi, itu masuk yang 30 persen tadi. Makanya, aku (dalam lagu) pakai ”asyik...”. Tapi aku komit dengan yang 30 persen itu. Tapi dalam perkembangan zaman, kekasih itu kan enggak harus kekasih, pacar. Rupanya ada yang menerjemahkan kekasih itu sebagai Tuhan. Waduh, enggak boleh main-main lagi aku. Dan itu cocok di umurku sekarang untuk menafsirkan itu. Jadi lebih serius.

Anda intens bicara tentang Tuhan.

Soalnya aku bingung mau ngadu ke mana?

Jalan keluar kita juga berdoa kepada Tuhan. Kenapa negeri ini, masa depan seperti apa, gimana, kok gelap terus, kapan cerahnya?

Doa

”Pikiran dan hati ini gelisah

Menimbang masa depan dengan gamang

Sungguh hati ini tak tenang

Sungguh kami takut, Ya Allah...”

Anda seperti berdoa pada lagu ”Ya Allah Kami”?

Itu puncak kenakalan justru he-he-he aku enggak mau kaku ke Tuhan. Aku ingin bercanda dengan Tuhan. Tuhan mahabercanda juga. Jadi, makin enggak takut. Aku seperti tak nyanyi, tapi bermain dengan syair itu.

Masih bisa bikin dan nyanyi lagu cinta remaja?

Aku perlu ngikutin mereka. Tapi, aku sudah tak punya tenaga untuk itu (membuat lagu cinta remaja). Dan aku tak mau. Waktuku bisa habis. Aku bawa diri aku saja sekarang. Kalau mereka bisa menerima ya alhamdulillah. Tapi aku enggak mungkin menjadi orang lain.  

(Oleh Myrna Ratna & Frans Sartono | Source : Kompas, 9 Mei 2010) 


Reblog this post [with Zemanta]
Read More...

Fals.. hanya seperti angin

Fals... hanya seperti angin


Rocker tak ubahnya orang suci. Bahkan dipuja layaknya 'seorang dewa'. Gerak tangan seorang bintang rock trkadang bisa menyulut gelombang. Atau pada saat lain, lambaian tangannya bisa membuat publik terbengong-bengong. Apa yang di ucapkan seorang mahabintang acap melekat dibenak-diingat-tak ubahnya deretan rumus atau dalil yang harus ditaati. Lirik lagunya diulang-ulang, seperti merapal doa saja...............................
Setelah sekian lama, adakah yang berubah dari sosok Iwan Fals?
Jelas banyak. Seperti helai rambut kelabu yang kini menghiasi kepalanya.
Tapi, adakah setiap helai uban di kepalanya punya cerita tersendiri?
Mungkin saja.
Satu helai, mungkin bercerita tentang Omar Bakrie-yang setelah Republik ini punya 6 Presiden pun-masih sering disunat gajinya.
Satu helai, mungkin berkisah tentang Bento-yang setelah-dan masih-didera krisis ekonomi pun malah makin banyak berseliweran di negeri ini.
Satu helai lainnya, mungkin juga berkisah tentang, Belalang Tua-yang kini sudah terkulai, tapi kini menetaskan ratusan bahkan ribuan " belalang muda" yang pasti lebih lapar dan lebih rakus lagi.
Satu helai berikutya, mungkin saja mengungkapkan tentang, Buku Ini Aku Pinjam-yang telah berganti judul dan lirik menjadi...."mobil ini aku pinjam...", atau "di mall depan sekolah disana kenal dirimu..............".
Dan helai-helai lainnya, mungkin saja mencatat nikmat dan pahitnya perjalanan hidupnya. Penemuannya dan kehilangannya. Pencerahan, dan pasti juga "malam-malam gelapnya".
Tapi adakah yang sesungguhnya berubah dari sosok Iwan Fals?
Jikapun ada mungkin tak banyak.
Karena, nggak banyak sosok seperti Iwan Fals. Memang, album-albunya tak pernah diklaim, apalagi diumumkan laris sampai juta-jutaan keping. Tapi, adakah yang bisa menyangkal jika ia punya barisan yang kalau dijejer bisa jutaan kepala jumlahnya?
Tak banyak sosok sperti Iwan Fals. Yang setelah wira-wiri di blantika musik lebih dari 20 tahun, tapi tak pernah hilang dari jejeran poster yang dijajakan di pinggir jalan, emperan toko, atau di atas jembatan penyeberangan.
Dan, adakah Iwan Fals berdiri dalam barisan "kaum seleb"-yang belakangan ini koq merasa mudah sekali punya "kartu anggota"?
Mungkin tidak.
Ia, mungkin merasa tidak pantas mengenakan setelan jas yang harganya bisa 10 kali gaki "Omar Bakrie", atau perutnya merasa mulas jika harus menyantap seporsi makanan seharga "uang muka RSS".
Inikah bentuk keberpihakannya kepada "kaum pinggiran" atau mereka yang terpaksa atau dipaksa dipinggirkan?
Iwan, bisa jadi tidak mengklaim begitu.
Karena, banyak dari kita yang sesungguhnya bisa melakukan hal yang sama. Karena, banyak dari kita toh dibekali "nurani" yang serupa.
Yang membedakan, banyak dari kita mungkin lupa, dan ragu untuk jujur.
Dan Iwan Fals, bukanya tidak pernah "lupa", tetapi paling tidak ia berani mengungkapkan apa yang perlu dikatakannya, dan berusaha untuk jujur.
Setelah lebih dari 20 tahun, saya cuma bisa menegaskan, Iwan Fals tetap bukan bintang, apalagi mahabintang. Karena, ia begitu dekat, begitu jelas terlihat, dan bukan pula bintang, karena secermelang apapun bintang toh akan pudar cahayanya, dan kemudian mati.
Jika pun ia harus "menjadi sesuatu", Iwan Fals mungkin tak lebih sebagai "angin"- yang bisa menggoyangkan dedaunan, membuat riak digenangan air, tanpa perlu menjadi puyuh atau tornado. 

(iwan, sepenggal "catatan redaksi" majalah HAI 13/XIII (28 maret - 3 April 1989))
Reblog this post [with Zemanta]
Read More...
  • fals
  • kebanggaan_Indonesia
  • memori
  • bareng_Slank
  • tafakur
  • di_Rolling_Stones
  • Raya
  • Ksatria
  • lantang
  • galang_kecil
  • tampan
  • masa_lalu
  • banjo
  • senyum
  • trax
  • sakinah
  • warahmah
  • tux1
  • tux2
  • tux3
  • tux4
  • tux5
  • tux6
  • tux7
  • tux8
  • tux9
  • tux10
  • linux1
  • linux2
  • linux3
  • linux4
  • linux5
  • linux6
  • linux7
  • linux8
  • linux9
  • linux10
  • linux11
  • linux12
  • linux13
  • linux14
  • linux15
  • linux16
  • linux17
  • linux18
  • linux19
  • linux20
  • linux21
  • linux22
  • linux23
  • linux24
  • linux25
  • linux26
  • linux27
  • linux28
  • linux29
  • linux30
  • linux31
  • linux32
  • linux33
  • linux34
  • linux35