Tampilkan postingan dengan label Malaysia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Malaysia. Tampilkan semua postingan

Konfrontasi Indonesia-Malaysia ( 1962 - 1966 )

Konfrontasi Indonesia-Malaysia ( 1962 - 1966 )

Latar Belakang
Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris, Sarawak dan Britania BorneoUtara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya untuk membentuk Malaysia.
Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kepulauan Sulu..
Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 desember 1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.
Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Malaysia apabila mayoritas di daerah yang ribut memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai perjanjian yang dilanggar dan sebagai bukti imperialisme Inggris.
Perang
Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi ) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia". Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia.
Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Federasi Melayu resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar di kemudian hari.
Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para kerusuhan membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.
Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan Indonesia dan pasukan tak resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil.
Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentara Laut Diraja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia.
Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di pontian di perbatasan Johor-Malaka dan ditangkap oleh pasukan Rejimen Askar Melayu DiRaja.
Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia dari PBB dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.
Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.
Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia. Australia mengakui penerobosan ini pada 1996.
Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Regiment Askar Melayu DiRaja. Dan Indonesia yang dibantu Komunis Russia dan Cina, akhirnya kalah total dengan Malaysia.
Akhir Konfrontasi
Menjelang akhir 1965, Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya kudeta. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.
Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditanda tangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.

http://indonesiakemarin.blogspot.com/2007/05/konfrontasi-indonesia-malaysia-1962.html
Enhanced by Zemanta
Read More...

Nasionalisme : Realitas Perbatasan, Indonesia yang Jauh

Nasionalisme : Realitas Perbatasan, Indonesia yang Jauh

Warga Desa Aruk, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, berjalan kaki membawa hasil bumi melewati perbatasan untuk dijual ke Malaysia, 19 Februari. Dari Malaysia mereka biasa membeli gula dan bahan makanan lainnya.
REALITAS PERBATASAN
Indonesia yang Jauh

Indonesia terasa jauh di desa-desa Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia. Warga di sana hidup dalam tatanan sendiri yang terpisah dari hiruk-pikuk perpolitikan Indonesia yang jauh. Dalam beberapa aspek, mereka justru lebih dekat dengan negara tetangga, Malaysia, dibandingkan Indonesia.

Di Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, waktu berdetak lebih cepat satu jam dibandingkan dengan waktu Indonesia bagian barat. Warga di sana memilih mengikuti waktu di Negara Bagian Serawak, Malaysia. Mata uang yang dipakai di desa itu pun ringgit Malaysia.

Di Aruk, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, warga bergantung pada pasokan listrik dari Malaysia. Jalan aspal di kawasan itu juga dibangun kontraktor Malaysia.

Bertahun-tahun sebelumnya, jalan itu menjadi saksi jutaan kubik kayu gelondongan dari hutan Indonesia yang dibawa ke Malaysia dan diolah di sana. Sisa kejayaan industri kayu itu terlihat dari bekas kilang-kilang kayu di Kampung Biawak, Sarawak, yang hanya selangkah dari perbatasan Indonesia.

Setelah era kayu, jalan itu adalah urat nadi bagi warga desa yang tiap hari melangsir hasil buminya untuk dijual ke Malaysia dan menjadi jalan pulang setelah membeli kebutuhan sehari-hari dari negeri jiran itu. Lima tahun mendatang, jalan-jalan itu kemungkinan akan diramaikan oleh truk-truk sawit ke Malaysia. Hamparan perkebunan sawit di wilayah Indonesia, yang sebagian dimiliki taipan Malaysia, kini menunggu saat panen.

Ketergantungan ekonomi terhadap negara tetangga itulah yang menjadikan Indonesia semakin jauh dan asing di mata warga.

Ketika Indonesia menjadi jauh dan asing di mata warga, sebaliknya di mata pemerintah pusat dan daerah: wilayah perbatasan adalah kantong penyelundupan, gerbang perdagangan manusia dan masuknya tenaga kerja Indonesia tak berdokumen, penyelundupan barang, kayu, dan obat- obat terlarang, hingga daerah rawan penyerobotan wilayah.

Beberapa waktu lalu, media massa di Tanah Air juga meributkan tentang warga Indonesia yang menjadi anggota Askar Wataniyah, paramiliter Malaysia.

Citra negatif yang dilekatkan pada kawasan perbatasan itu sering kali menjadi dasar bagi pemerintah untuk lebih mengedepankan pendekatan keamanan-politik, dan abai terhadap realitas sosial, budaya, dan ekonomi di belakangnya.

Budaya lintas batas

Proses terbentuknya negara-bangsa di Asia Tenggara adalah konsekuensi dari pembagian teritori oleh para penguasa kolonial yang membagi wilayah kekuasaannya pada abad ke-19 berdasarkan kepentingan ekonomi-politik mereka. Akibatnya, batas-batas negara tidak pernah bersinggungan dengan batas-batas kultural.

Hal ini pula yang berlaku di perbatasan Indonesia-Malaysia di Pulau Kalimantan. Awalnya adalah garis di atas peta yang ditorehkan melalui perjanjian dua negara penjajah, Belanda dan Inggris, pada 20 Juni 1891. Pulau Borneo pun kemudian dibelah memanjang dari timur ke barat.

Masyarakat di kedua sisi batas itu, yang sebagian masih bertalian saudara, dipaksa untuk memiliki identitas bangsa yang berbeda. Sebelah selatan garis menjadi wilayah kekuasaan Dutch Borneo dan sebelah utara berada di bawah British Protectorates.

Setelah berakhirnya era kolonialisasi Belanda di Indonesia, dan Inggris di Malaysia, pulau yang terbelah secara paksa itu diwariskan kepada bekas jajahannya masing-masing. Indonesia mewarisi sekitar dua pertiga tanah Borneo di sebelah selatan, sisanya terbagi antara Malaysia dan Brunei.

Namun, garis batas itu tidak dapat menghapus realitas sosial yang ada sebelumnya. Hingga lebih dari 100 tahun kemudian, kelompok sosial yang berada di antara garis batas tetap meneruskan irisan itu, terutama dalam hal migrasi penduduk, perdagangan, dan penggarapan lahan.

”Nenek moyang saya berasal dari Suruh Tembawang (wilayah Indonesia). Saya masih punya tanah garapan di sana dan masih saya usahakan sampai sekarang,” kata Duduh (80), Kepala Kampung Gun Sapit, Sarawak, Malaysia.

Sejarah konfrontasi Indonesia-Malaysia di era Presiden Soekarno tak mampu memutus ikatan budaya dan sejarah masyarakat Dayak Bidayuh di wilayah ini. Konflik Indonesia dan Malaysia di masa lalu memang bukan konflik adat mereka.

Interaksi lintas batas ini mengingatkan pada catatan Anton W Niewenhuis dalam bukunya, In Central Borneo (1894), yang menyebutkan, pada tahun 1890-an telah terjadi interaksi sosial, budaya, dan ekonomi antarsuku Dayak dari berbagai macam subetnis di wilayah ini. Selain suku Dayak, juga terdapat etnis China dan Melayu yang berdagang dan sebagian mulai menetap di kawasan ini.

Di mata sebagian masyarakat tradisional Dayak, batas negara yang ditorehkan secara paksa oleh kolonial Inggris dan Belanda, yang kemudian diteruskan oleh Malaysia dan Indonesia, adalah garis batas wilayah yang imajiner. Menjadi tidak aneh ketika kemudian sebagian warga perbatasan memiliki identitas kewarganegaraan ganda. Kebanyakan yang terjadi adalah warga negara Indonesia yang kemudian berpindah menetap ke kampung di Malaysia.

Imran Manuk, Kepala Desa Suruh Tembawang, mengatakan bahwa perpindahan warga ke Malaysia lebih karena motif ekonomi. ”Selain karena melihat peluang ekonomi, juga akses pendidikan yang lebih baik kepada keluarga,” katanya.

Peleburan batas

Terputusnya ekonomi masyarakat perbatasan dengan ekonomi nasional adalah buah dari berpuluh tahun kebijakan pembangunan yang terpusat di Pulau Jawa. Kebijakan itu menempatkan wilayah perbatasan sebagai halaman belakang yang diabaikan.

Nasionalisme yang membabi buta, dan sentralisasi ekonomi yang menempatkan daerah di luar Jawa sebagai daerah modal untuk dieksploitasi, telah menutup mata terhadap realitas kesenjangan itu. Di ujung kekuasaan Orde Baru, kesenjangan itu membuahkan konflik etnis yang berdarah-darah di beberapa wilayah Kalimantan, juga di beberapa wilayah Indonesia.

Konflik itu membuka mata terhadap retasnya keindonesiaan, yang oleh Ben Anderson digambarkan sebagai bangsa imajiner. Bangsa yang seolah-olah ada, padahal tidak ada karena tidak ada irisan sejarah dan budaya dalam proses pembentukannya.

Konflik bernuansa suku, agama, ras, antargolongan (SARA) yang beberapa waktu lalu merebak di berbagai wilayah itu juga membuka mata kegagalan pemerintah dalam membangun kebersamaan sebagai warga yang belajar menjadi satu bangsa. Tantangan terberat terjadi di wilayah perbatasan yang dicitrakan sebagai wilayah ”rentan”. Sudahkah kemudian kita belajar?

Nyatanya, perubahan sistem terpusat menuju desentralisasi yang terjadi pascaeuforia reformasi belum mampu mengubah wajah kesenjangan itu. Dalam kondisi masyarakat perbatasan yang secara sosial-ekonomi terputus dengan konsep ”nasional”, komunitas negara di wilayah ASEAN berencana membuka gerbang perbatasan lebar-lebar menuju integrasi ekonomi kawasan pada 2015.

Peleburan tapal batas ini ke depan akan menjadi tantangan baru bagi keindonesiaan, khususnya di wilayah perbatasan yang retas….

http://y3hoo.nice-topic.com/berita-aktual-f32/nasionalisme-realitas-perbatasan-indonesia-yang-jauh-t2562.htm
Enhanced by Zemanta
Read More...

Indonesia Siapkan Rudal Untuk Ganyang Malaysia


Saat ini, militer Indonesia telah memasang 200 rudal jarak jauh berbagai varian di sekitar selat malaka yang diarahkan ke Ibu Kota Malaysia, Kuala Lumpur. Adapun target utama antara lain, gedung parlemen, pusat pemerintahan Ahmad Badawi, menara petronas, serta beberapa objek vital lainnya. Peluncuran rudal-rudal tersebut segera dilakukan apabila Malaysia kembali membuat ulah terkait dengan klaim atas warisan tradisional budaya Indonesia maupun pelanggaran territorial baik disengaja maupun tidak disengaja.

Pejabat militer Indonesia menyatakan siap akan memborbadir Kuala Lumpur dan menginvasi Malaysia jika negara itu kembali melakukan klaim budaya maupun pelanggaran batas territorial. Rencana agresi militer dengan sandi operasi "Ganyang Malon" beredar diluas di masyarakat khususnya mereka yang tinggal di perbatasan Indonesia – Malaysia. Pelanggaran-pelanggaran yang sering dilakukan negara yang mendapat kemerdekaan hadiah dari UK itu, telah mendorong kebijakan militer Indonesia menjadi lebih agresif dengan mengandalkan pre-emptive strike terhadap Malaysia.

Untuk mendukung operasi tersebut militer Indonesia sudah menyiapkan skenario militer, logistik persenjataan, melakukan latihan agresi, serta mempersenjatai milisi di sekitar perbatasan Indonesia – Malaysia. Operasi yang ditujukan untuk memberikan efek jera kepada Malaysia yang selalu membuat ulah tersebut, mendapat respon yang baik dari berbagai kalangan domestik maupun internasional.

Adapun skenario militer yang bocor di masyarakat sebagai berikut:

Bila Malaysia kembali melakukan klaim sepihak baik disengaja ataupun tidak disengaja, maka Indonesia tanpa perlu mengirimkan nota protes ke Pemerintah Malaysia, akan langsung meluncurkan rudal 200 rudal ke jantung kota KL. Prioritas target adalah gedung pemerintahan dan parlemen, stasiun TV dan radio, dan menghancurkan beberapa objek telekomunikasi lainnya, seperti internet dan jaringan telepon seluler. Keadaan ini akan mengisolasi KL sehingga militer Indonesia akan memiliki superioritas akibat rusaknya berbagai infrastruktur vital.

Evakuasi WNI dan staf diplomatik akan dilakukan secara cepat, efisien, dan tepat sasaran oleh militer Indonesia yang sebelumnya telah melakukan infiltrasi intelijen maupun politik melalui partai oposisi dan kelompok organisasi etnik minoritas. Milisi yang sudah dipersenjatai akan melakukan penyerangan-penyerangan minor pada pos-pos militer Malaysia, menyebar ranjau, serta memberikan teror psikologis pada warga sipil, khususnya di Sabah Serawak.

Prajurit yang terjun antara lain unit antiranjau, antikapal selam, antikapal permukaan, antiserangan udara, bantuan tembakan kapal, terjun tempur, infiltrasi Pasukan Katak, dan Intai Amfibi Marinir (Taifib).

Invasi ini akan melibatkan 10,000 tentara dari berbagai kesatuan, 51 kapal perang (KRI), empat Sukhoi TNI AU, serta beberapa persenjataan taktis lainnya. Selain itu, serangan ini juga melibatkan lima pesawat Casa, dua Nomad, lima helikopter, 18 sekoci, empat hovercraft, 32 tank amphibi, 25 truk, serta berbagai senjata strategis lain yang dimiliki TNI AL. Berbagai senjata strategis KRI, seperti rudal exocet MM-38, rudal strela, meriam 120 mm, 57 mm, 40 mm, torpedo sut, bom laut, senjata RBU, dan senjata multi grad 40 laras, dan senjata howitzer 120 Marinir akan dipakai.

Perang diperkirakan tidak akan berlangsung lama mengingat TDRM tidak memiliki pengalaman perang yang dapat diandalkan. Militer Indonesia akan siap berperang secara gerilya maupun perang terbuka. Operasi "Ganyang Malon" diperkirakan akan menghabiskan waktu maksimal 2 X 24 jam.

Dua pesawat Su-30 dan 5 psesawat F-16 mendapat tugas untuk menghancurkan infrastruktur yang masih tersisa di KL. Misi lainnya adalah untuk menghancurkan pangkalan militer Malaysia dan berbagai instalasi pendukung. Sementara itu, 2 pesawat Su-27 da 2 pesawat F-16 akan membumihanguskan wilayah Sabah dan Serawak. Keunggulan Indonesia atas matra udara, darat, dan laut akan memuluskan rencana invasi secara efisien tanpa mendapatkan perlawanan berarti dari TDRM.

Kemudian, 10,000 tentara Indonesia dan artileri berat diturunkan ke KL dan kota sekitarnya dengan menggunakan pesawat Hercules C130 untuk melumpuhkan kekuatan organik yang mungkin masih tersisa. TDRM dan warga sipil yang tertangkap akan ditahan seperlunya untuk dijadikan tameng hidup.

Pada level diplomatik, Indonesia akan memanfaatkan posisinya sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk melakukan kampanye negatif terhadap Malaysia. Lobi-lobi intensif akan dilakukan semaksimal mungkin untuk mengisolasi Malaysia secara politik dan mencegah DK PBB mengeluarkan resolusi. Beberapa konflik internasional akan dieksploitasi untuk mengalihkan perhatian dunia internasional. Kelihaian diplomat Indonesia yang terbukti handal serta memiliki jam terbang pengalaman diplomasi internasional yang panjang, diyakini tidak akan mendapat kesulitan untuk mengatasi serangan diplomat Malaysia yang dikenal tidak pandai berdiplomasi.

Tahap selanjutnya adalah membentuk pemerintahan boneka (shadow government) di Malaysia yang berkiblat ke Jakarta; menghapuskan keanggotaan Malaysia di ASEAN dan beberapa organisasi internasional; membentuk pemerintahan yang demokratis, pluralis, dan manusiawi.
http://arsipberita.blogspot.com
Enhanced by Zemanta
Read More...

OEMAR BAKRI DICEKAL SERDADU, SALAH SIAPA?

The Coat of Arms of Indonesia is called Garuda...


 Bayangkan seorang cowok yang masih duduk  di bangku SMP memangku gitar bolong bernyanyi dengan suara lantang di hadapan ratusan orang. Suaranya menggelagar menyanyikan sebuah sindiran yang mungkin belum begitu dia mengerti akar permasalahannya.
Cowok itu bernama Virgiawan Listanto. Peristiwa itu terjadi sekitar 35 tahun lalu. Waktu itu  cowok yang akhirnya kesohor dengan nama Iwan Fals ini sering diundang di acara-acara kampus ITB Bandung. Bukan karena anak ini udah sering manggung di kafe atau udah punya singel yang hit, tetapi anak-anak kampus itu pada demen nungguin celoteh Iwan yang nakal dan kocak.
Iwan memang jadi bintang kecil saat itu. Ia yang sempet tinggal di Bandung, mencari uang saku dari ngamen, akhirnya mencoba mencari peruntungan di asrama mahasiswa ITB. Dengan bermodalkan baca koran, dan sedikit pengetahuan tentang peristiwa yang sedang hangat, Iwan kecil melancarkan aksinya dengan nyanyian spontan dan kritis. Sok tau memang, tapi itu yang bikin kakak-kakak mahasiswa cinta sama anak ini...
Saking cintanya, Iwan pun diajak rekaman di radio kampus ITB yang bernama 8 EH. Disana seperti biasa Iwan disuruh menyanyikan lagu-lagu spontannya. Imbalan nasi bungkus yang didapatnya nggak bikin semangat menyanyi Iwan hilang. Karena dia yakin yang dilakukannya adalah sekedar untuk bikin senang kawan.
"Saya seneng aja waktu itu. Dikipas-kipasin terus sama mahasiswa. Akhirnya saya lebih milih ngamen daripada sekolah. Walaupun masih SMP, saya udah punya tolak ukur kalo mahasiswa itu yang benar," kenang ayah tiga anak ini.
Makanya setiap ada acara kampus, Iwan selalu semangat untuk menyumbang suara. Pernah saat itu ia dibajak mahasiswa untuk bernyanyi diatas panggung. Mungkin suara lantangnya terdengar pihak keamanan, sehingga aparat terpaksa datang untuk membubarkannya. Aksi Iwan dibungkam dengan cara pemadaman aliran listrik.
Tapi acara belum berhenti sampai di situ. Suara gitar Iwan diperkeras atas bantuan para mahasiswa yang menodong corong TOA ke arah gitar bolongnya. Suasananya pun bertambah panas. Puncaknya, acara itu bener-bener bubar gara-gara serbuan aparat yang sudah siap dengan atribut-atribut penggerebegan.
Penonton kocar-kacir, termasuk Iwan yang sempet tertangkap pas mau melarikan diri. Tapi ternyata sejak kecil jiwa pemberontaknya udah muncul. Walaupun dengan alasan klasik, Iwan bisa meloloskan diri.
"Saya bilang mau kencing. Nah, begitu agak lepas pegangannya, saya kabur aja," ujarnya sambil ketawa.
Peristiwa tahun 1975 itu masih bisa diceritakannya dengan setengah lancar. Maklum udah lama. Tapi mungkin akan terus diinget karena dari sanalah cikal bakal Iwan Fals bermula.
Beranjak SMU, Iwan sedikit punya masalah dengan pergaulan. Sarana bergaul yang paling ampuh zaman itu adalah musik. Rolling Stones dan The Beatles jadi musik wajib anak-anak nongkrong waktu itu. Masalahnya Iwan nggak bisa menyanyikan lagu band bule itu seperti temen-temennya. Maka dia menciptakan lagu sendiri biar bisa bergaul.
"Saya merasa harus bisa diterima dalam pergaulan. Dan untuk masuk ke pergaulan 'kan harus ada nilai tambahnya. Makanya saya bikin lagu sendiri," kata putra Kol (Purn) Harsoyo ini.
Iwan yang sudah ngekost saat SMU, terus mencari tambahan uang saku dari ngamen. Duit dari orang tua emang ada, tapi nggak menyurutkan kegiatan yang satu ini. Bahkan ketika hijrah ke Jakarta, Iwan masih sering ngamen di kawasan Tebet.
Ketika sedang asik-asiknya ngamen dan bolak-balik Jakarta-Bandung, Iwan sempet mendirikan grup musik pengamen bernama Amburadul. Bersama grup ini, ia menjajal kontes musik humor yang diprakarsai LHI (Lembaga Humor Indonesia) pada tahun 1979 dan meraih juara pertama. Hadiah dari prestasinya itu adalah jalan Iwan menuju ke dapur rekaman.
Lagu-lagu Amburadul direkam dalam pita kaset yang berjudul Kumpulan Lagu-lagu Humor. Suara Iwan yang cempreng kala itu mengingatkan kita pada suara penyanyi lawas Bob Dylan yang emang jadi satu-satunya artis barat idola Iwan.
Selama kurun waktu 1978-1980, ia mulai sibuk. Ada 4 proyek yang ditangani Iwan bersama Helmy dan Toto Gunarto ini. Setelah Kumpulan Lagu-lagu Humor, Amburadul tampil dalam kaset lawak Yang Muda Yang Bercanda, Canda Dalam Ronda, serta Canda Dalam Nada.
Akhirnya tawaran untuk bermusik serius datang juga. Ketika sedang berada di Bandung, Iwan mendapat tawaran rekaman di Jakarta. Atas saran sobatnya yang udah mau sarjana, Iwan akhirnya hijrah ke Jakarta untuk mengejar karir.
"Teman saya itu namanya Dede Haris. Dia bilang mendingan saya ke Jakarta. Soalnya industri musik itu adanya di Jakarta. Kalo dia, katanya tanggung, dikit lagi jadi sarjana. Dia pengen jadi pengacara," tutur Iwan yang punya delapan saudara kandung.
"Saya sampai jual motor sendiri untuk bikin master," tambahnya.
Tahun 1979 lahirlah album Perjalanan di bawah bendera Istana Record. Baru tahun 1981 Iwan direkrut Musica Records untuk menandatangani kontrak. Ia pun setuju menyanggupi tuntutan kontrak yang menyebutkan harus siap ngeluarin album setahun dua kali. Dari Musica Records lahirlah album perdana bersama perusahaan rekaman yang berbasis didaerah Pancoran itu. Album Sarjana Muda yang terkenal berkat tembang Oemar Bakrie ini terjual sekitar 200 ribu kopi menurut versi Musica saat itu.
Nggak aneh kalo Musica langsung girang. Kontrakpun terus diperpanjang. Dalam kurun waktu 1981 sampai 1989 tercatat ada 11 album meluncur dari Musica Records. Beberapa diantaranya merupakan album Masterpieces seperti Sumbang (1983), Sugali (1984), Sore Tugu Pancoran (1985), dan 1910 (1988).
Lagu-lagu hit seperti Oemar Bakrie, Pesawat Tempur, Yang Terlupakan, Sore Tugu Pancoran, Entah dan Kumenanti Seorang Kekasih, merupakan trade mark penyanyi berambut ikal ini.
Lirik dala, lagu Iwan seperti menjelaskan dengan lugas apa yang terjadi dalam masyarakat kita. Seperti bagaimana dia menggambarkan sosok Oemar Bakrie :
"Laju sepeda kumbang dijalan berlubang/Slalu begitu dari dulu waktu jaman Jepang/Terkejut dia waktu mau masuk pintu gerbang/Banyak Polisi bawa senjata berwajah garang/Bapak Oemar Bakri kaget apa gerangan/Berkelahi Pak jawab murid seperti jagoan...."
Dalam satu bait, dia sudah bisa ngegambarin sosok guru yang sederhana. Maklum di tahun 80'an masih banyak guru yang berangkat menggajar dengan sepeda kumbang. Sekarang sih naik mobil. Terus dengan gamblang ia memasukkan unsur "murid Jagoan" yang doyan tawuran dalam lagunya.
Iwan adalah orang yang romantis. Tapi bukan lirik kampungan yang dibuatnya. Coba simak petikan lirik Mata Indah Bola Pimpong yang memuja wanita. "Pria mana yang tak suka/ Senyummu juwita/Kalau ada yang tak suka/Mungkin sedang goblok". Nggak sok puitis... tapi bisa bikin cewek tersenyum manis.
Lirik tentang peristiwa hangat dan cinta masih kental terasa di album-album produksi Musica. Malah dia pernah bercita-cita pingin bikin jurnalisme dalam lagu. Maksudnya, mengeluarkan album dalam jangka waktu tertentu. Mungkin dalam bayangannya jadi seperti majalah lagu kali yah?
"Tadinya saya niat pingin nerbitin rekaman tiga bulanan. Isinya lagu tentang berita yang lagi hangat saja. Tapi ternyata setelah rekamankan selalu keluar hit dan pendengar pinginnya saya nyanyiin yang hit-hit aja. Niata saya itu jadi nggak keolah lagi," kata pria yang pernah mengeyam Pendidikan Jurnalistik di Sekolah Tinggi Publisistik (sekarang IISIP) ini.
Ide jurnalisme dalam bermusik ini emang udah dilakukannya ketika masih berseragam putih abu-biru dulu. Tapi diakuinya, kalo dulu niatnya itu terdorong oleh kondisi media massa Indonesia yang masih sedikit dan sangat dikontrol pemerintah. Sehinnga Iwan merasa punya tanggung-jawab untuk menceritakan dan menggabarkan berita pada orang lain lewat lagu-lagunya.
Makanya jangan heran kalo setelah pintu kebebasan pers dibuka lebar-lebar, Iwan malah jadi jarang membuat lagu yang berisi sentilan-sentilan pedas.
Nggak salah juga kalo dulu musik Iwan Fals nggak dianggap komersil. Selain karena nggak merdu kaya Trio Bimbo, sosoknya lebih pantas disebut pemimpin geng dikalangan penggemarnya. Pasalnya pendengar musik Iwan kebanyakan anak-anak yang doyan mabok dan nongkrong. Massanya yang disebut Iwan sebagai "anak-anak begadangan" itu justru dari tahun ke tahun bertambah jumlahnya.
Tapi Iwan nggak lantas jadi superstar yang sok punya massa. Dia tetap saja berkaos oblong, berbalut jelana jins, dan sendal jepit, kadang malah nyeker. Sekitar awal tahun 1980-an dia masih ngamen di jalanan ditemani anak sulungnya, almarhum Galang Rambu Anarki." Setelah banyak dikenal, saya agak segan ngamen. Kalopun mau, saya ingin ke suatu tempat dimana orang nggak kenal siapa Iwan Fals. Kalo dikenal nggak lucu lagi dong," ujarnya waktu itu seperti yang dilansir salah satu harian ibu kota.
Ciat-citanya-pun setelah punya mobil dan satu rumah di Tebet, hasil dari penjualan albumnya-masih terbilang sederhana : pingin dagang sayuran di Cipanas dan main gitar sambil menjaga dagangannya. Simpel memang, tapi itulah Iwan Fals. Dia adalah superstar yang bukan selebriti.
Karir Iwan pun hampir mencapai puncak ketika sebuah perusahaan bernama PT. AIRO menawarkan deal yang menggiurkan pada tahun 1989. Dengan lagu hit seperti Mata Dewa, Air Mata Api dan Yang Terlupakan. Mata Dewa menjadi album pertama Iwan yang murni bernuansa Rock, penggarapanya pun dibantu Ian Antono.
Sukses melejitkan Mata Dewa ternyata justru bikin karir Iwan agak terganggu akibat ulah perusuh yang sering berbuat onar di konser-konsernya. Beberapa kali konser Iwan Fals berakhir dengan kekacauan. Pihak keamanan selalu berjaga ketat di setiap pertunjukan Iwan.
Kerusuhan penonton terjadi pada Rock Kemanisiaan tanggal 3 Desember 1988 di Teater Mobil Ancol, Jakarta. sejumlah artis seperti Nicky Astria, Gito Rollies, dan God Bless kurang digubris oleh penonton yang udah ngebet pingin nonton Iwan Fals. Mereka mendadak brutal dengan melempari panggung dengan berbagai macam benda. Iwan pun segera muncul menyelamatkan suasana dengan memimpin penonton menyanyikan Indonesia Raya. Sejak saat itu pihak keamanan menilai setiap konser Iwan Fals dengan "siaga satu".
Buntutnya, promo tur 100 kota yang udah direncanakan mulai7 Januari 1989 terpaksa ditunda. Pada 28 Januari 1989 Iwan harus dihadapkan dengan kenyataan pahit : Tur 100 kotanya dibatalkan. Ia terpukul dan menangis,"Aku kan cuma bawa gitar kayu dan tali senar. Tak ada bahayanya dibanding Tank," tangisnya waktu itu.
Sebagai gantinya, PT. AIRO menggelar konser rock gratis di parkir timur Senayan pada tanggal 25 Februari 1989. Hampir 200 ribu pasang mata memadati Parkir Timur. Walaupun ada Nicky Astria, Ikang Fawzi, dan Grass Rock, namun penonton tetap mengelukan nama Iwan Fals.
Entah apa penyebabnya, konser yang tadinya aman, mendadak rusuh begitu bubaran. Akibatnya beberapa mobil rusak dan terbakar di sepanjang Parkir Timur Senayan. Ulah siapa ini?
"Saya percaya penggemar nggak mungkin sampai berbuat rusuh kecuali ada yang ganggu. Kayak polisinya Over Acting, atau ada yang menggoda," komentarnya waktu itu.
Tapi pihak kemanan nggak kenal kompromi. Setiap konser Iwan sudah diduga kuat akan berubah rusuh. Tahun 1993 tercatat dua event Iwan Fals diakhiri dengan keributan. Pertama pada festival Drum Internasional di Jakarta tanggal 18 Desember, yang kedua Pesta Musik Jalanan di Yogyakarta pada tanggal 12 November.
Meski Iwan sudah kolaborasi dengan artis lain dan dengan nama band sendiri, ia masih saja dianggap sebagai biang kerusuhan. Masih di tahun 1993, Iwan sempet ngambek karena dilarang main di rumahnya sendiri dalam rangka ulang tahun ibunya. Waktu itu ia sudah bersama grup Dalbo.
Sampai tahun 1996, saat dia bersama Kantata, pembatalan konser tetap dilakukan pihak keamanan. Pada Juni 1996 konsernya di Ujung Pandang di batalkan dengan alasan keamanan, padahal 15.000 tiket sudah terjual.
Walupun di berbagai tempat konser Iwan Fals berlangsung tertib, pasti ada saja yang memancing di air keruh. Contohnya kerusuhan setelah konser di Bandung yang terjadi pada tanggal 14 Januari 1996. Kerusuhan itu merembet sampai ke pelemparan toko-toko di jalan. Parahnya lagi perusuh meneriakan kata-kata berbau SARA. Kalo udah gini masak sih cuma ulah penggemar?
Cobaan demi cobaan datang silih berganti. Tapi ia nggak lantas diam di tempat. Ia terus memutar otak agar bisa bermain musik lagi.
Beruntung ada sinar terang, kala semua masalah gagal dihadapinya sendiri, datang Sawung Jabo dan Setiawan Djodi sebagai teman berbagi rasa. Dua orang musisi ini menjadi tempat mencurahkan semua masalah yang dihadapinya. Sadar bahwa "lawan"-nya (baca=aparat keamanan) terorganisir rapi, Iwan pun memutuskan "melawan" dengan cara berkelompok pula. Buntutnya, dari hasil diskusi ini mereka berkolaborasi.
Lahirlah SWAMI. Kelompok yang namanya diambil karena personelnya udah jadi suami itu terdiri dari Iwan Fals, Sawung Jabo, Inisisri, Naniel, dan Nano. Kelompok baru ini sukses menelurkan album Swami (1989) yang berisi lagu hit macam Bento dan Bongkar. Lewat Swami, Iwan menemukan tempat baru untuk berkreativitas. Kini dia tidak lagi sendirian menghadapi tekanan penguasa.
"Mereka yang berkolaborasi dengan saya bukan kendaraan bagi saya untuk bermusik lagi setelah saya sempet hilang. Tuhan selalu ngasih jalan keluar. Ibarat saluran air yang disumbat di salah satu sisinya pasti akan menggelembung di tempat yang lain. Disumbat lagi bisa pecah, begitu saya menggambarkan kreatifitas saya,"ujarnya.
Swami bukanlah satu-satunya tempat berlabuh. Setelah Swami masih ada proyek lain bersama Kantata. Kali ini malah personelnya bertambah banyak, Setiawan Djody (gitar), WS Rendra (pembaca puisi), dan Jockie Suryoprayogo (kibor) menambah jumlah personel Swami.
Kantata menelorkan album, Kantata Takwa (1990), dan Kantata Samsara (1992) dan sukses bikin konser rock terbesar sepanjang sejarah musik Indonesia. Mengambil tempat di Stadion Utama Senayan, nggak kurang 150 ribu penonton memadati stadion sepak bola nasional Indonesia itu.
Namun sesungguhnya bukan nama besar Kantata yang jadi daya tarik utama. Iwan Fals-lah yang jadi "bintang" malam itu. Meski yang bersangkutan menyanggah hal itu, konser pertama Kantata menjadi semacam pengakuan bahwa Iwan merupakan seorang superstar pada masa itu.
Meski sadar dirinya yang dinanti penonton Swami dan Kantata, di tetep nggak merasa jadi bintang. Dia dan teman-teman di grupnya itu sadar bahwa mereka menjalani peran yang berbeda-beda. Iwan sebagai vokalis, yang bertugas menyanyikan lagu. Sawung Jabo jadi orang yang berkomunikasi dengan penonton di panggung. Sementara Setiawan Djody, musisi yang juga pebisnis, berfungsi sebagai orang yang mendanai proyek-proyek Swami dan Kantata.
Lantas dimana posisi WS. Rendra? Penyair besar itu kebagian membuat syair dan wejangan-wejangan ke penonton. Dia juga memberi saran soal artistik. Dan tugas Jockie sebagai kapten musik yang mengatur semua arransemen.
Gara-gara sudah punya fungsi masing-masing Iwan dkk nggak punya waktu lagi buat mikirin siapa yang bakal besar, siapa yang jadi superstar. Iwan udah sibuk bernyanyi, biar begitu dia tetap dikritik supaya nggak baca teks kalo lagi nyanyi. Sedadngkan dia mengaku nggak bisa nyanyi kalo nggak baca.
Keinginannya berkelompok masih terus dilakoninya. Ini dibuktikan dengan membentuk Hijau dan Dalbo. Jika hijau dibentuk Iwan dengan merangkul musisi macam Tjok Rampal, Bagoes AA, Iwang Noorsaid dll, Dalbo merupakan kelanjutan Swami yang sempet vakum.
Tampaknya dua grup ini juga cuma jadi persinggahan Iwan sementara. Citranya yang lekat sebagai solois nggak pernah hilang biar sederet grup musik pernah memakainya sebagai anggota.

#5/2002 HAIKLIP
Reblog this post [with Zemanta]
Read More...

Fals.. hanya seperti angin

Fals... hanya seperti angin


Rocker tak ubahnya orang suci. Bahkan dipuja layaknya 'seorang dewa'. Gerak tangan seorang bintang rock trkadang bisa menyulut gelombang. Atau pada saat lain, lambaian tangannya bisa membuat publik terbengong-bengong. Apa yang di ucapkan seorang mahabintang acap melekat dibenak-diingat-tak ubahnya deretan rumus atau dalil yang harus ditaati. Lirik lagunya diulang-ulang, seperti merapal doa saja...............................
Setelah sekian lama, adakah yang berubah dari sosok Iwan Fals?
Jelas banyak. Seperti helai rambut kelabu yang kini menghiasi kepalanya.
Tapi, adakah setiap helai uban di kepalanya punya cerita tersendiri?
Mungkin saja.
Satu helai, mungkin bercerita tentang Omar Bakrie-yang setelah Republik ini punya 6 Presiden pun-masih sering disunat gajinya.
Satu helai, mungkin berkisah tentang Bento-yang setelah-dan masih-didera krisis ekonomi pun malah makin banyak berseliweran di negeri ini.
Satu helai lainnya, mungkin juga berkisah tentang, Belalang Tua-yang kini sudah terkulai, tapi kini menetaskan ratusan bahkan ribuan " belalang muda" yang pasti lebih lapar dan lebih rakus lagi.
Satu helai berikutya, mungkin saja mengungkapkan tentang, Buku Ini Aku Pinjam-yang telah berganti judul dan lirik menjadi...."mobil ini aku pinjam...", atau "di mall depan sekolah disana kenal dirimu..............".
Dan helai-helai lainnya, mungkin saja mencatat nikmat dan pahitnya perjalanan hidupnya. Penemuannya dan kehilangannya. Pencerahan, dan pasti juga "malam-malam gelapnya".
Tapi adakah yang sesungguhnya berubah dari sosok Iwan Fals?
Jikapun ada mungkin tak banyak.
Karena, nggak banyak sosok seperti Iwan Fals. Memang, album-albunya tak pernah diklaim, apalagi diumumkan laris sampai juta-jutaan keping. Tapi, adakah yang bisa menyangkal jika ia punya barisan yang kalau dijejer bisa jutaan kepala jumlahnya?
Tak banyak sosok sperti Iwan Fals. Yang setelah wira-wiri di blantika musik lebih dari 20 tahun, tapi tak pernah hilang dari jejeran poster yang dijajakan di pinggir jalan, emperan toko, atau di atas jembatan penyeberangan.
Dan, adakah Iwan Fals berdiri dalam barisan "kaum seleb"-yang belakangan ini koq merasa mudah sekali punya "kartu anggota"?
Mungkin tidak.
Ia, mungkin merasa tidak pantas mengenakan setelan jas yang harganya bisa 10 kali gaki "Omar Bakrie", atau perutnya merasa mulas jika harus menyantap seporsi makanan seharga "uang muka RSS".
Inikah bentuk keberpihakannya kepada "kaum pinggiran" atau mereka yang terpaksa atau dipaksa dipinggirkan?
Iwan, bisa jadi tidak mengklaim begitu.
Karena, banyak dari kita yang sesungguhnya bisa melakukan hal yang sama. Karena, banyak dari kita toh dibekali "nurani" yang serupa.
Yang membedakan, banyak dari kita mungkin lupa, dan ragu untuk jujur.
Dan Iwan Fals, bukanya tidak pernah "lupa", tetapi paling tidak ia berani mengungkapkan apa yang perlu dikatakannya, dan berusaha untuk jujur.
Setelah lebih dari 20 tahun, saya cuma bisa menegaskan, Iwan Fals tetap bukan bintang, apalagi mahabintang. Karena, ia begitu dekat, begitu jelas terlihat, dan bukan pula bintang, karena secermelang apapun bintang toh akan pudar cahayanya, dan kemudian mati.
Jika pun ia harus "menjadi sesuatu", Iwan Fals mungkin tak lebih sebagai "angin"- yang bisa menggoyangkan dedaunan, membuat riak digenangan air, tanpa perlu menjadi puyuh atau tornado. 

(iwan, sepenggal "catatan redaksi" majalah HAI 13/XIII (28 maret - 3 April 1989))
Reblog this post [with Zemanta]
Read More...
  • fals
  • kebanggaan_Indonesia
  • memori
  • bareng_Slank
  • tafakur
  • di_Rolling_Stones
  • Raya
  • Ksatria
  • lantang
  • galang_kecil
  • tampan
  • masa_lalu
  • banjo
  • senyum
  • trax
  • sakinah
  • warahmah
  • tux1
  • tux2
  • tux3
  • tux4
  • tux5
  • tux6
  • tux7
  • tux8
  • tux9
  • tux10
  • linux1
  • linux2
  • linux3
  • linux4
  • linux5
  • linux6
  • linux7
  • linux8
  • linux9
  • linux10
  • linux11
  • linux12
  • linux13
  • linux14
  • linux15
  • linux16
  • linux17
  • linux18
  • linux19
  • linux20
  • linux21
  • linux22
  • linux23
  • linux24
  • linux25
  • linux26
  • linux27
  • linux28
  • linux29
  • linux30
  • linux31
  • linux32
  • linux33
  • linux34
  • linux35